Tentang Kami

Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) didirikan di Jakarta, Senin 16 Juli 1956 dengan Akta Notaris Meester Raden Soedja Nomor 118. Para pendiri PPFI adalah Turino Junaidy (NV Gerakan Artis Film Sang Saka), Muhamad Mustari (Fa Titin Sumarni Motion Picture Production), The Teng Hoei (NV Bintang Surabaya Film), Siaw Fon Tong (NV Tenaga Kita Film Ltd), Sjamsudin Safei (Ratu Asia Coy), Umar Arifin (Fa Pahlawan Merdeka), Ho Han Yong (NV Garuda Film Studio Ltd), Chok Chin Hsin (Fa Perusahaan Film Golden Arrow), Liaw Kwan Hin (Fa Olympiad Film Studio), Mashud Pandji Anom (CV Borobudur Film Nasional Coy), Nawi Ismail (NV Usaha Film Corporation), H Djamaludin Malik (NV Persari), Usmar Ismail ( NV Perfini), Joshua Wong (NV Tan & Wong Bros), Mohamad Chatab (Fa Rolleicon Film Studio) dan Oey Tiang Tjay (NV Anom). Semua berkedudukan di Jakarta, kecuali Lie Sioe Seng (NV Palembang Film Corporation) berkedudukan di Palembang.
Sebelumnya Djamaludin Malik dan Usmar Ismail telah mengambil langkah mendirikan Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) pada tahun 1954. Keinginan untuk mendirikan PPFI lahir dari situasi gawat sejak tahun 1952. Di mana film impor mendominasi pemutaran film di bioskop-bioskop, terutama film India, Melayu dan Philipina. Dengan demikian PPFI lahir sebagai wadah perjuangan insan perfilman. Dalam hal ini para produser film ketika itu. Perjuangan PPFI bersama insan perfilman lainnya ketika itu berhasil memperjuangkan pengurangan dominasi film impor. Sehingga memberikan ruang yang lebih besar terhadap film produksi Nasional. Disamping itu, PPFI juga membantu penyelenggaraan berbagai festival film di dalam dan luar negeri.
Melalui SK Menteri Penerangan RI No.1148/KEP/MENPEN/1976 tanggal 24 Agustus 1976, tentang Pengukuhan Organisasi Perfilman Sebagai Organisasi Profesi, PPFI dikukuhkan sebagai satu-satunya organisasi yang mempunyai usaha di bidang Produksi Film Nasional. Disamping organisasi profesi lainnya, yakni PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia), KFT (Ikatan Karyawan Film dan Televisi Indonesia), GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia), GASFI (Gabungan Studio Film Indonesia), dan GASI (Gabungan Subtitling Indonesia).
Setelah dikukuhkan sebagai satu-satunya organisasi profesi di bidang produksi film Nasional oleh Menteri Penerangan, Mashuri, setiap pengurusan izin produksi film ke DepartemenPenerangan wajib dilengkapi surat rekomendasi dari PPFI. Dalam kondisi tersebut PPFI berkembang menjadi organisasi yang "berkuasa". Semua perusahaan wajib menjadi anggota PPFI dengan segala kewajiban yang mengikutinya, Sehingga PPFI memiliki dana yang relatif besar untuk menjalankan roda organisasi.
Pada waktu itu, berkembang berbagai aturan yang ditetapkan Pemerintah seperti wajib putar film nasional yang diatur oleh PT. Peredaran Film Nasional (PERFIN). Ketetapan tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Penerangan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 49 Kep/MENPEN 1975; No. 88A TAHUN 1975; dan No. 096aIU/1975 tanggal 20 Mei 1975. Surat Keputusan Bersama ini menekankan  tentang Wajib Edar dan Wajib Putar Film Nasional serta Penertiban Reklame Film, yang kemudian terkenal dengan sebutan SKB Tiga Menteri. Dengan SKB Tiga Menteri, PT Perfin melakukan penjadualan terhadap film Nasional. Pada awalnya, penataan peredaran film yang di lakukan PT Perfin memberikan harapan kepada PPFI. Namun kemudian, penataan yang dilakukan PT Perfin tidak berhasil untuk memperlancar peredaran film nasional. Sebaliknya, pada awal dekade 80-an terjadi penumpukan puluhan, bahkan ratusan film nasional yang menunggu giliran beredar.
Kondisi yang tidak sehat ini gagal diatasi. Sehingga PT Perfin menjadi beban terhadap perfilman nasional tanpa memberikan kontribusi yang produktif. Penumpukan film nasional yang tidak berhasil diedarkan sangat memukul kegiatan usaha para anggota PPFI. Walaupun sering disebutkan bahwa "film merupakan karya kreatif", tetapi yang menanggung resiko keuangan adalah anggota PPFI. Hal ini jelas benar pengaruhnya terhadap PPFI sebagai organisasi yang wajib memperjuangkan kepentingan para anggotanya.
Sejalan dengan reformasi politik, berbagai peraturan dan ketentuan yang mngekang perfilman secara berangsur-angsur mulai dikurangi. Tidak ada lagi izin produksi film, sehingga PPFI tidak lagi memungut dana rekomendasi dari anggotanya. Oleh karena itu, pengurus PPFI harus lebih kreatif untuk mencari dana untuk kepentingan jalannya organisasi. Sejauh ini, PPFI tetap bisa berjalan dan melakukan berbagai kegiatan dalam menunjang dan turut mengembangkan iklim produksi yang lebih baik. Jadi, walaupun tidak lagi memiliki "kekuasaan" setelah reformasi, tetapi PPFI tidak menjadi organisasi yang "gamang". Tidak merasa kehilangan pamor, karena PPFI memang tidak pernah tumbuh sebagai birokrat atau "penguasa".
Ketika didirikan PPFI didukung oleh 16 perusahaan film. Jumlah anggota tersebut berkembang dari tahun ke tahun. Tahun 1977 anggota PPFI tercatat 114 perusahaan. Sejalan dengan implementasi Undang-undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, mulai tahun 1998 anggota PPFI tidak lagi terbatas pada perusahaan produksi film selluloid, tetapi juga perusahaan produksi film dengan menggunakan media video. Anggota yang tercatat pada saat itu 167 perusahaan. Tahun 2001 anggota PPFI tercatat 119 perusahaan dan pada tahun 2006 menjadi 139 perusahaan. Tahun 2007 saat PPFI menyelenggaran Kongres ke 17 di Jakarta anggota PPFI tercatat 150 perusahaan. Melalui Kongres ini pula anggota dan pengurus PPFI  memilih Raam Punjabi (PT Tripar Multivision Plus) sebagai Ketua Umum dan HM Firman Bintang (PT Bintang Inova) sebagai Sekretaris Jenderal PPFI masa bakti 2007-2010.
Pamor PPFI cenderung stabil meskipun dari segi keangotaan jumlah pasang surut sesuai situasi dan kebutuhan perfilman pada zamannya. Kestabilan  pamor PPFI juga dapat dilihat dari penyelenggaraan Festival Film Asia Pasifik (FFAP) di Jakarta tahun 2001, tanpa dukungan Pemerintah Pusat sebagaimana beberapa kali FFAP sebelumnya. Tetapi dilaksanakan oleh PPFI dengan menggandeng  Pemerintah DKI Jakarta dan pihak swasta. Tanpa pamor dan kredibilitas yang baik tentu kerjasama tersebut sulit dilaksanakan. Hal ini juga sebagai komitment PPFI sebagai pendiri dari Festival Film Asia Pasifik (FFAP). Tahun 2006 bersama GASFI, PPFI berhasil memperjuangkan pembebasan pajak impor atas bahan baku dan peralatan film. Di tahun yang sama PPFI telah bekerjasama dengan Academy of Motion Picture Arts and Sciences untuk membentuk Committee members.
Sesuai amanat Kongres, PPFI bersama organisasi perfilman lainnya ikut memperjuangkan peninjauan Undang-Undang Perfilman dan Peraturan-peraturan pelaksanaannya agar menampung kebutuhan atau tuntutan reformasi dibidang perfilman. Diantaranya, agar fungsi stasiun televisi sebagai lembaga penyiaran lebih dipertegas dan tidak terlalu jauh menangani produksi. Hal ini untuk memberikan kesempatan tumbuhnya industri perfilman Indonesia.
PPFI juga berperan aktif dalam aktifitas perfilaman baik nasional, regional dan internasional. Mengusulkan kepada eksekutif/legislatif  sebuah peraturan/undang-undang yang dapat memberi perlindungan kepada anggota-anggota yang berusaha dibidang production house. Melakukan terobosan pemasaran film-film produksi anggotanya, baik ke pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Melakukan pendekatan kepada stasiun (broadcast) agar tetap tercipta peluang atas produksi seluruh anggota PPFI. Menjalin kerjasama antar PPFI dengan Asosiasi Stasiun Televisi di Indonesia dalam rangka pembinaan dan produksi film layar lebar.
Pratinjau